Aku sempat sesumbar padanya, “Jangan memaksaku untuk mencintai apalagi membenci sesuka hati, atau aku akan memilih pergi. Aku tak ingin menjadi rakus atas dirimu. Aku pun tak ingin tandus untuk menumbuhkan biji-biji pengorbananmu. Sungguh.” Lalu kau tahu apa katanya? Tak ada. Kau tahu bahwa aku selalu merindu, menunggu, dan melepasmu hingga batas pandangku. Maaf, aku pernah berdoa agar warnamu tak lekas pudar. Maaf, aku pernah berharap kau mengajarinya tentang sadar.
Benar.
Ternyata kau mengirimkan jawaban lewat awan-awan, merayap di kaki Bukit Breksi, menanjak, menerobos reruntuhan candi, kemudian berlari. Mata teduhnya berkata, “Jangan terlalu muram ketika senja mengidungmu dengan lagu-lagu petang. Jangan terlalu geram ketika senja menyindirmu dengan angin malam. Bukan hanya kau yang mengantarnya dan bukan hanya kau yang menantinya. Jangan lupa.”
Tentu saja.
Aku mengerti.
Karya : Audhita Dewanti Saputri / PBSI / 2013