Kabar Kampus

Upacara 17-an Dengan Konsep Bhineka Tunggal Ika

Sidang tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI tanggal 16 Agustus 2017 dan peringatan HUT RI ke 72 tanggal 17 Agustus kemarin menyita perhatian rakyat Indonesia. Bukan soal substansi laporan Presiden RI kepada para wakil rakyat, namun soal gaya pakaian Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla beserta Ibu negara.

Betapa tidak, jika pada tahun-tahun sebelumnya seorang Presiden dan Wakil Presiden identik dengan gaya berbusana jas, maka di sidang tahunan sehari menjelang Hari Kemerdekaan RI ke-72 dan upacara kenegaraan HUT RI ini, kedua pemimpin bangsa ini memilih menggunakan pakaian adat. Sontak mengagetkan wakil rakyat dan terlebih-lebih para warganet.

Uniknya, pakaian adat yang digunakan Presiden dan Wakil Presiden bukan merupakan pakaian adat asal daerah Presiden dan Wapres, namun keduanya memilih untuk saling bertukar pakaian adat. Presiden Jokowi menggunakan pakaian adat Bugis-Makassar, tempat lahir Wapres Jusuf Kalla, demikian halnya Wapres JK menggunakan pakaian adat Jawa, tempat lahir sang Presiden. Di sisi lain yang tidak luput dari perhatian warganet adalah sosok Ibu Negara yang tampak mempesona dengan busana pakaian adat Bali.

Apakah ada aturan busana saat sidang tahunan MPR? Tentu tak ada! Lantas apa pesan budaya dari peristiwa ini? Apakah sekadar soal keakuran Presiden dan Wapres? Atau sekadar pelestarian budaya Indonesia? Atau sekadar perayaan ke-Indonesia-an menjelang Hari Kemerdekaan RI ke-72? Atau yang lain? Semua analis memiliki hak untuk menafsirkan pesan simbolik kebudayaan itu. Dan ketika kita berselancar di dunia maya, aneka analisis budaya dan politik akan peristiwa budaya itu bertebaran tanpa batas.

Penggunaan pakaian adat oleh Presiden, Wapres, dan Ibu Negara, serta beberapa menteri kabinet Indonesia Kerja memang adalah hal baru dalam sidang tahunan MPR RI. Namun peristiwa pemakaian pakaian adat di momen tertentu, seperti upacara ataupun seragam kantor bukan hal yang baru. Sebut saja, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI mewajibkan pakaian adat pada hari tertentu. Demikian halnya dengan kampus UNY, UGM, dan beberapa institusi lainnya yang menggunakan pakaian adat pada Upacara Hari Kemerdekaan RI ke-72.

Baca Juga  Garuda UNY Team Siap Berkompetisi di Shell Eco-Marathon Asia 2018

Di UNY sendiri, saya sempat ragu ketika dalam undangan Peringatan Hari Kemerdekaan RI ke-72, saya selaku Rektor mengimbau kepada keluarga besar UNY untuk menggunakan pakaian daerah/adat pada upacara. Ternyata, luar biasa sambutan dari warga UNY dengan ditunjukkan menggunakan pakaian daerah/adat dari berbagai pelosok nusantara. Konsep yang saya usung adalah bahwa kita beraneka ragam tetapi harus dalam satu kesatuan, saling bekerja sama tanpa memandang asal usul, dan perlu meneguhkan kembali semangat bhinneka tunggal ika yang akhir-akhir ini mengalami degradasi. Karena itu, penggunaan pakaian adat dalam konteks ini dapat dimaknai sebagai simbol perayaan Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika.

Akan tetapi dalam konteks sidang MPR RI dan peringatan HUT RI di atas, penggunaan pakaian adat yang direpresentasikan Presiden, Wakil Presiden, dan Ibu Negara harus dimaknai jauh lebih strategis akan masa depan Indonesia. Ada tiga alasan utama akan perspektif ini.

Pertama, upaya mendobrak kekakuan akan aturan berbusana di acara-acara kenegaraan. Selama ini busana jas menjadi simbol pejabat negara dalam merayakan dan menghadiri acara-acara kenegaraan, padahal pakaian jas adalah simbol masyarakat modern eropa yang dibawa para kolonial. Dengan begitu, pemakaian busana adat adalah bisa menjadi simbol mengembalikan kekuatan budaya lokal Indonesia.

Baca Juga  Peraih UNBK Tertinggi Se-DIY, Inggried Diterima di UNY

Kedua, kado Dirgahayu Kemerdekaan RI ke-72. Bahwa untuk memberi hadiah kemerdekaan bagi bangsa Indonesia dapat dilakukan dengan hal-hal unik tanpa harus mengeluarkan biaya yang besar, salah satunya dengan cukup menggunakan pakaian adat di acara resmi kenegaraan. Peristiwa budaya tersebut tidak hanya menuai pujian bagi presiden dan wapres, namun juga melahirkan rasa kebanggaan anak bangsa akan budaya Indonesia. Beragam komentar di media sosial menjadi bukti akan kebanggaan menjadi bagian dari Indonesia.

Ketiga, penggunaan pakaian adat Bugis-Makassar, Jawa, dan juga Bali merupakan pesan simbolik akan arah masa depan Indonesia. Sebagaimana diketahui bahwa budaya Bugis-Makassar adalah representasi kejayaan maritim Indonesia; budaya Jawa adalah representasi kekuatan agraris bangsa Indonesia; dan budaya Bali merupakan representasi dari kekuatan dan keunikkan budaya lokal Indonesia. Tentu Presiden Jokowi paham ketiga pakaian adat tersebut tidak bisa menjadi ukuran representasi budaya Indonesia yang memiliki sekitar 1.340 jenis suku di Indonesia, namun simbol maritim, agraris, dan budaya lokal merupakan tiga pilar kekuatan Indonesia di masa akan datang.

Karena itu, peristiwa budaya penggunaan pakaian adat Indonesia lintas ataupun satu budaya menjadi penting di tengah ‘sakitnya’ kehidupan berbangsa dan bernegara. Bukan sekadar mengingatkan dan mengapresiasi kebhinnekaan yang tunggal Ika, namun juga sebagai tonggak awal kebangkitan bangsa Indonesia di masa yang akan datang melalui kejayaan laut, kekuatan agraris, serta keunikan dan kekayaan budaya. Bukan begitu? Semoga!

(Prof Dr Sutrisna Wibawa MPd. Rektor dan Guru Besar Bahasa Jawa FBS Universitas Negeri Yogyakarta, serta Ketua Umum Ikatan Dosen Bahasa Daerah Indonesia. Artikel ini dimuat Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat, Jumat 18 Agustus 2017)

admin

UNY COMMUNITY - Komunitas Mahasiswa dan Alumni UNY - kirim artikel menarik kalian ke redaksi@unycommunity.com, syarat dan ketentuan baca  Disini 

Related Articles

Back to top button
X