Pojok #UNYu

Suka Duka Ramadan untuk Anak Rantau

Story Highlights
  • Ramadan di perantauan nggak melulu tentang kesedihan, di samping itu ada hal positif yang dapat diambil, lho

Ramadan merupakan bulan yang meriah. Saat fajar masih belum muncul, banyak orang telah disibukkan dengan berbagai urusan, utamanya urusan dapur. Tak kalah meriah dari waktu fajar, menuju sore (mulai dari jam 3 sore, bisa kurang atau lebih, tergantung dengan waktu daerah masing-masing), orang-orang sibuk memasak dan mempersiapkan waktu berbuka puasa, masjid dan musala banyak yang mengadakan kajian serta buka bersama, tak luput, penjual takjil (penganan dan minuman) mulai menjamur di sepanjang jalan, pun dengan antrean pembeli yang tak bisa dibilang sedikit.

Bagi sebagian orang (mungkin mayoritas), banyak momen kebersamaan ramadan yang terjadi, sahur, tarawih, buka puasa, serta kajian bersama di masjid menjadi momen tak terlupakan yang terjadi setiap satu tahun sekali. Momen-momen seperti inilah yang pastinya membuat ramadan menjadi semakin asik dan tentunya merekam banyak kenangan hangat bersama keluarga dan kerabat. Maka dari itu, berkumpul bersama keluarga di bulan ramadan menjadi momentum sakral yang dinanti-nantikan banyak orang, terlebih bagi anak rantau.

Berikut merupakan beberapa hal yang membuat ramadan di perantauan menjadi sesuatu hal yang sangat sentimental, yakni,

  • Sahur dan berbuka puasa sendirian.

Bagi sebagian orang yang tidak terbiasa sendiri, makan sendirian di hari-hari biasa rasanya sudah menyedihkan, apalagi jika sahur dan buka puasa dilakukan dengan sendirian. Suasana yang dihadirkan saat makan bersama seseorang (terlebih yang terkasih) mampu menjadikan nafsu makan bertambah (agaknya terlalu berlebihan, tapi banyak yang setuju dengan pernyataan ini). Sahur yang sunyi dilakukan sendiri, menjadikan kesunyiannya berlipat ganda, lalu, buka puasa yang biasanya riuh gembira bersama-sama, juga hanya dilakukan sendiri.

  • Kangen masakan rumah.
Baca Juga  Jadwal, Syarat Dan Cara Pendaftaran D4 UNY 2020

Biasanya saat di rumah, bangun sahur langsung ke dapur, ambil piring, dan makan dengan lauk yang sudah terhidang, pun dengan berbuka puasa, tak jauh berbeda. Tetapi, lain hal dengan di rumah, saat ramadan di perantauan mau gak mau kita harus memasak atau membeli makanan di luar. Makan seadanya saja kita harus punya stok yang proper, ndak mungkin makannya mi instan terus. Mau beli makanan yang sesuai dengan menu rumahan juga bimbang, mulai dari rasanya yang kurang pas dan mantep (aslinya suasana bareng keluarga juga mendukung, sih) atau uangnya yang tidak pas buat memenuhi kerinduan makanan rumah (anak perantauan ndak boloh boros, nanti beli tiket mudiknya gimana, dong?!).

  • Miss the kampung halaman vibes.

Suara tadarus Al-qur’an dari TOA musala yang bersahut-sahutan (ada yang setelah subuh, siang hari, sore hari, ataupun setelah tarawih), suara anak-anak yang heboh dengan kentongannya demi membangunkan sahur (kadang mereka terlalu bersemangat, sampai-sampai keliling membangunkan sahur pun masih di waktu tengah malam), pilihan takjil yang sesuai dengan lidah dan kebiasaan kita semasa kecil, hingga tingkah anak-anak yang sibuk mendiskusikan mau tarawih di musala mana malam nanti (biasa, anak-anak kecil suka tarawih yang lebih cepat selesai dari yang lainnya) menjadikan alasan kuat rindu seorang perantau pada kampung halamannya.

Baca Juga  Komplet ; Berikut Catatan dan Gambaran Biaya Kehidupan Kuliah di UNY

Berkaca dari beberapa hal di atas, suasana hangat bersama orang-orang terkasih jadi alasan utama rindu pada kampung halaman. Namun, ramadan di perantauan tidak melulu menjadi hal yang menyedihkan. Apabila kita mau melihat ke arah yang lain (tentunya ke arah yang positif), ada banyak manfaat yang didapatkan saat menunaikan ramadan di perantauan. Di antaranya;

  • Mendisiplinkan kita dalam beberapa aspek, terlebih kemandirian.

Di perantauan, kita dituntut untuk mampu menjaga dan merawat diri sendiri. Semua hal yang berhubungan dengan kebutuhan diri menjadi tanggung jawab pribadi. Bukan berarti kita tidak boleh bergantung pada teman ataupun saudara di perantauan, akan tetapi, hal tersebut menjadi tuntutan pribadi seorang perantau. Aih, repotnya.

  • ‘Dihormati’ oleh warga lokal.

Indonesia dikenal dengan masyarakatnya yang ramah, baik dengan sesama warga lokal, maupun pendatang dari daerah lain. Hal ini berpengaruh besar dengan keberadaan anak rantau yang menjalani ramadan di perantauan. Banyak warga lokal berempati kepada perantau. Rasa iba yang muncul pada perasaan warga lokal saat melihat seseorang yang jauh dari keluarganya sedang menjalani puasa di perantauan menjadi faktor utama.

Mari kita sesama perantau yang ada di ranah orang untuk saling menguatkan. Perbanyak teman dan selalu ambil hal positif di setiap keadaan. Kamu tidak pernah sendiri, banyak orang di sekitarmu yang peduli dan mengkhawatirkan keadaanmu.

Wafiq Farihun Najihah

Suka menulis dan akan selalu menulis. Jika ketahuan tidak menulis, berarti penulis sedang mencari bahan untuk ditulis-|-Manajemen Pendidikan '22.

Related Articles

Back to top button
X