CerpenSastra

Cerpen – Sebait Cerita tentang Telaga

Sekretariat hening. Reni dan Ical masih berdiri di masing-masing kubu. Mereka seperti baru usai bersitegang ketika aku datang. Anak-anak lain hanya terdiam seolah habis menonton drama di depan mata kepala. “Ada apa ini?” tanyaku pada salah seorang junior. “Itu mas, anu..itu..mbak Reni sama mas Ical tukaran lagi.” ia yang kutanya mencoba menjawab dengan terbata. “Tukaran apa?” tanyaku tak mengerti. “Iku anu mas, eh, maksudnya kayak bertengkar gitu.” Begitu mengetahui mereka sedang bertengkar, aku mengalihkan pandanganku kepada Ical yang melihat Reni dengan nanar. “Ada apa Cal?”

“Ini mas, Reni masih kekeh mau mengajukan Bondan sebagai ketua untuk menggantikan mas Hamdan di periode berikutnya.”

“Kan boleh? Kalau PIM aja mengajukan Yanuar, PSDM boleh dong mengajukan Bondan? Lagipula Bondan lebih paham situasi masyarakat daripada Yanuar karena Bondan hidup di tengah masyarakat yang serba kekurangan.” jawab Reni.

Telaga itu butuh orang intelektual seperti Yanuar, lagipula track record Yanuar sudah terdengar dari dulu. Tahu kondisi Telaga dari kepemimpinan mas Oka, mbak Anita, sampai mas Hamdan. Nah Bondan punya apa? Dia orang baru di sini. Orang baru yang belum pernah memimpin lembaga besar seperti Telaga kok mau mimpin kita. Pengalamannya baru sampai taraf Rembulan di tingkat kabupaten. Dipikir dulu secara matang kalau mengajukan seorang pemimpin. Yanuar memang berasal dari keluarga berada, namun ia tahu bagaimana cara memajukan masyarakat agar kesejahteraan mereka merata. Ia juga punya link yang luas tentang donatur-donatur untuk diajak kerjasama dalam memajukan masyarakat. Jadi, alasan PIM mengajukan Yanuar tidak asal dan sembarangan.”

“Alah, itu kan hanya pandangan orang. Siapa tahu itu strategi untuk menggeser PSDM dari Telaga, agar PIM saja yang terlihat. Ujung-ujungnya akan membuat masyarakat ketergantungan dengan para donatur dan intelektual saja yang dibangun, sementara sisi SDM diabaikan.”

“Loh, PIM tanpa PSDM juga tidak bisa berjalan. Begitu pun sebaliknya. Juga dengan bidang-bidang lain di Telaga. Kita semua sama-sama kerja bareng Ren..”

“Itu kan…”

“Sudah!” tegurku. “Mau Yanuar atau Bondan, keduanya sama-sama baik, tapi keputusan tetap ada di forum kan? Kalian jangan macam elit partai begitu lah, mendukung satu dan menjatuhkan yang lain.”

“Kenapa nggak mencalonkan mas Tama aja buat jadi ketua Telaga? Aku siap jadi tim suksesnya lho..” sebuah suara tiba-tiba muncul. Suara dari junior bernama Budi. Semua mata tertuju padanya. “Lho, kok malah pada ngeliatin? Bener kan? Kenapa enggak mas Tama aja? Dari PIM dan PSDM kalau terus-terusan bersiteru, kapan ketemu titik keseimbangannya?”

“Setelah demisioner saya tidak akan lanjut di Telaga,” jawabku.

“Iya mas,” sambung Reni. “Kemarin Bondan sempet menanyakan kenapa nggak mas Tama aja yang maju jadi ketua. Setelah saya kasih tahu alasan mas Tama, dan dia pun harus dipaksa-paksa, akhirnya dia mau dicalonkan sebagai ketua.”

Mendengar bahwa Bondan maju sebagai ketua karena dipaksa oleh bidang PSDM, maka Ical pun tertawa geli. “Oh, jadi Bondan itu maju karena dipaksa?hahaha..”

“Heh! Itu karena Bondan seorang yang low profile, nggak kayak siapa itu yang kamu usung?”

“Itu karena Yanuar punya kesadaran tinggi untuk mengubah Telaga menjadi lebih baik.”

“Semua tetap kembali ke anggota yang milih kan?”

“Iya, setidaknya anggota tahu kalau dipimpin oleh Yanuar, mereka akan merasakan memiliki pemimpin yang tegas untuk mempertahankan Telaga  dari gangguan manapun.”

“Lalu bertindak sewenang-wenang?”

“Siapa bilang begitu? Saya tahu Bondan anak yang lemah lembut, baik hati, tapi justru itulah yang akan membuat Bintang, Montana, dan sejumlah lembaga lain menggeser posisi Telaga di kancah regional dan nasional!”

“Oke, kita lihat saja nanti ya!”

“Sudah!” teriakku. Tanpa kusadari ternyata aku menggebrak meja dengan cukup keras. Sempat kudengar beberapa junior reflek mengucapkan kalimat takbir dan istighfar. Astaghfirullah..seruku dalam hati. Aku menghela nafas. “Reni, Ical, cukup. Tidak ada gunanya kalian di sini bertengkar seperti itu. Siapa yang menjadi pemimpin, entah dari Pengembangan Intelektual Masyarakat, maupun Pengembangan Sumber Daya Masyarakat, pastilah sama-sama baik. Kalian tidak dilatih berorasi untuk hal-hal semacam ini. Tugas kita adalah membangun masyarakat bersama, melalui literasi dan kepekaan sosial lainnya. Masalah siapa yang akan memimpin Telaga, itu beda urusan. Sekarang, kembali ke meja masing-masing. Kalian semua,” aku mengalihkan pandanganku kepada belasan junior di sana, “jangan meniru apa yang senior kalian lakukan hari ini. PIM dan PSDM memang berjalan sendiri-sendiri, namun ingat bahwa kita berada dalam payung yang sama. Telaga. Sekarang, kembali ke tempat masing-masing.

Baca Juga  Puisi ; Rindu Kampus UNY

Tiga minggu berikutnya Reni dan Ical sama-sama gencar melakukan promosi program kerja yang akan dilakukan oleh kedua calon ketua Telaga. Ical dan Yanuar tampak lebih bersemangat dalam melakukan kampanye kali ini. Sementara itu Reni dan Bondan seolah lebih tenang.

Hari yang ditunggu pun tiba. Pemilihan ketua Telaga. Dari seratus dua puluh responden, sebelas di antaranya tidak memilih, dan tiga belas suara tidak sah. Sementara itu, hasil penghitungan menunjukkan hasil yang cukup mengejutkan, hanya selisih tiga suara. Pemilihan ketua Telaga resmi dimenangkan oleh Bondan.

“Apa kubilang, Bondan bisa lebih unggul ketimbang Yanuar, karena Bondan bisa merangkul semua kalangan. Lihat saja para pemilih Bondan, mereka kebanyakan adalah masyarakat yang memang benar-benar membutuhkan bantuan dari segi SDM, bukan hanya intelektual saja. Lihat tuh pemilih Yanuar, kebanyakan masyarakat menengah ke atas. Telaga kan ngurusin masyarakat yang membutuhkan!” cibir Reni pada Ical suatu ketika setelah satu bulan Bondan menjabat sebagai ketua. Malam itu aku, Ical, Reni, dan Hamdan memang sedang tak sengaja bertemu di sebuah warung kopi langganan kami ketika masih sama-sama berada di Telaga. Aku memang sedang ada janji dengan Hamdan karena setelah keluar dari Telaga, kami sama-sama berada di Samudera, sebuah lembaga yang membawahi Telaga. Sementara itu, Ical dan Reni baru selesai melakukan rapat pengurus harian Telaga. “Kalian ini seharusnya membantu Telaga untuk bekerja lebih baik lagi setelah saya dan Tama tidak di sana. Bukan malah saling menjatuhkan seperti ini. Saya dahulu sebagai ketua, dan Tama sebagai wakil saya, tetap berusaha merangkul semua kalangan, baik dari PIM maupun PSDM. Saya dari PIM, Tama dari PSDM. Lalu bidang pengembangan lainnya. Kalian ini cukup jadi sorotan lho di Samudera,” ucap Hamdan. Hamdan, seperti biasa selalu bisa membuat suasana cair. Aku sendiri kagum terhadap caranya memimpin Telaga selama dua periode berturut-turut.

Setelah pertemuan malam itu, suasana Telaga makin membaik. Samudera tidak lagi menerima laporan masalah dari Telaga. Semua program kerja yang dicanangkan mulai dikerjakan dengan serius oleh kepemimpinan Bondan hingga suatu ketika ada kabar mengejutkan yang mampir ke meja redaksi Samudera. Seketika, aku mengatur waktu untuk bertemu kembali dengan Ical dan Reni, serta mengundang Hamdan untuk ikut dalam forum kecil kami. Namun sayang sekali, Reni tidak bisa hadir karena sakit.

“Ini gimana ceritanya kok saldo Telaga sampai minus tiga puluh satu juta? Ini payah sekali Cal!” Hamdan yang biasanya tenang dan menenangkan kini berubah jadi kepiting rebus. “Telaga sudah berusaha menekan biaya pengeluaran mas, tapi ternyata salah satu staf yang diambil PSDM dari masyarakat langsung tanpa seleksi melakukan spekulasi dan merombak semua data mas. Jadi pengiriman paket buku dari donatur ke daerah tertinggal tidak sampai, begitu pun adanya bantuan sarana ke beberapa daerah macet karena ketiadaan biaya.”

“Kenapa bisa begitu? Hal-hal teknis semacam itu wewenang PIM. Urusan pemasukan, pengeluaran, seharusnya dilakukan orang-orang internal Telaga sendiri yang lebih paham akan kondisi keuangan. Kalau diambil dari luar sembarangan, ini namanya bunuh diri Cal!” pada akhirnya aku pun tersulut emosi juga.

“Itu juga yang sempat menjadi perdebatan mas Tama. Kami dari PIM sudah mengkomunikasikan ke PSDM mengenai urusan ini, namun tidak ada tanggapan positif mas. Kami justru dikatakan ingin mengambil alih kepemimpinan Bondan dan melengserkannya.”

“Reni. Apa kabar dia? Dia yang dahulu kekeh mengajukan Bondan sebagai ketua. Punya sikap apa dia sekarang?” tanyaku.

“Reni pun tidak bisa berbuat apa-apa mas. Tampuk kepemimpinan PSDM tidak berada di tangan Reni lagi.”

“Kok bisa?” tanya Hamdan. “Iya mas, jadi tepat dua bulan setelah terakhir kali kita bertemu berempat itu, terjadi masalah intern PSDM yang saya yakin ini juga dispekulasi agar Reni lengser dari jabatannya dan sekarang kepala PSDM dikuasai oleh orang luar Telaga yang baru masuk ketika Bondan menjabat sebagai ketua.

Baca Juga  Puisi : Untuk Senja

“Invasi itu namanya. Kita semua tahu bahwa untuk menjadi kepala bidang, ia harus sudah berproses di Telaga selama satu periode. Kalian lupa akan hal itu?” serbu Hamdan. Kali ini ia tidak tanggung-tanggung dalam memperjelas situasi Telaga.

“Kita kelabakan mas. Kepemimpinan Bondan mengubah sistem dan kami tidak bisa berbuat apa-apa. Bahkan Reni sekarang ini adalah orang pertama yang mengusung wacana untuk melengserkan Bondan dari jabatannya sebagai ketua Telaga, dan seminggu yang lalu sebelum ia sakit, ia sempat berdiskusi dengan saya. Ia meminta Yanuar maju sebagai calon pengganti Bondan.”

“Kamu sendiri sudah mencoba mnghubungi Yanuar?” tanyaku. “Sudah mas, tapi Yanuar sendiri mengatakan bahwa semua keputusan ada di forum karena seperti sebelumnya, calon yang gagal menjadi ketua Telaga hanya memiliki hak untuk mengevaluasi, tidak bisa terlibat secara langsung.”

Kudengar Hamdan menghela nafas panjang. “Kalian ini bukan main partai. Kalian ini lembaga yang membantu masyarakat kelas bawah untuk bangkit melalui intelektual dan SDM, pemanfaatan SDA, dan membangun lapangan pekerjaan. Urusan kalian adalah ikut memajukan daerah-daerah tertinggal. Bukan masalah macam persoalan rebutan suara bak partai politik! Sekarang begini. Kalian tinggal memilih dua langkah: mengurusi kepemimpinan, atau mengurusi keuangan terlebih dahulu. Keputusan ada di tangan kalian.”

***

Koran usang ini masih kusimpan. Koran yang sudah berusia dua puluh dua tahun. Mana bisa aku melupakan berita-berita menyakitkan yang terekam jelas dalam tulisan-tulisan di headline koran regional dan nasional yang memberitakan pembubaran Telaga. Lalu kasus Bondan yang bunuh diri setelah membakar kantor Telaga, belum lagi berita kematian Reni karena kecelakaan yang disengaja. Berita-berita ini amat mencuat dan membuat Samudera dinilai tidak becus dalam mengurusi Telaga dan pada akhirnya Samudera kehilangan banyak rekan kerja. Satu tahun kemudian, Samudera benar-benar tinggal nama. Hamdan memilih ke luar negeri, melanjutkan S3 dan kini menetap di Jerman. Sementara Ical mengikuti langkah kakaknya untuk kembali ke Kalimantan dan bekerja di perusahaan batu bara. Aku sendiri menetap di sini, memilih menjadi pengajar para mahasiswa S1 mengenai ilmu komunikasi. Kelebatan-kelebatan bersama tiga sahabatku itu masih membayang walau sudah bertahun terlewati. Aku menghela nafas panjang.

“Ayah!” makhluk kecil berusia tujuh tahun itu mendatangiku, menubruk kakiku lalu bermanja-manja di hadapanku. “Rafki mau dijadikan ketua kelas katanya Yah, tapi Rafki masih bingung. Kalau jadi ketua itu tugasnya suruh ngapain kan Rafki nggak tahu Yah.” Aku tersenyum melihat malaikat keduaku ini. Sejenak kemudian seorang putri cantik yang kami namai Zahra muncul. “Kalau jadi ketua, Rafki harus bisa tanggung jawab. Harus tahu siapa yang Rafki pimpin, apa yang diperlukan sama mereka, terus harus bisa adil deh.”

“Berat ya kak,” jawab Rafki pendek. “Itulah kenapa jadi pemimpin itu bukan sekedar main-main Nak, tanggung jawabnya besar, nanti ditanyain di akhirat juga lho..” ucap ibu dari kedua malaikatku ini sembari menyajikan brownies kesukaan kami. “Wah brownies…” kedua malaikatku pun berteriak girang. “Kalau Rafki sudah bisa memimpin diri sendiri, bolehlah Rafki memimpin orang lain. Sekarang Ayah tanya, Rafki sudah bisa belum memimpin diri sendiri? Bertanggungjawab sama hal-hal yang Rafki lakukan? Misalnya bangun pagi lalu membereskan tempat tidur. Bantu kakak, Ayah, dan Bunda dengan hal-hal kecil? Kalau Rafki mau jadi pemimpin besar, Rafki harus bisa memimpin diri sendiri dulu.”

“Biasanya Rafki kalau bangun tidur enggak pernah rapiin tempat tidur Yah, terus kakak marah-marah. Berarti belum bisa memimpin diri sendiri dong kalau gitu. Jadi, Rafki belum bisa jadi pemimpin buat orang lain juga ya Yah? Ajarin Rafki ya Yah, biar besok jadi pemimpin hebat!” mendengar hal tersebut, aku hanya mengusap rambut Rafki sambil mengiyakan dengan tertawa, sementara Zahra cekikikan karena tahu adiknya paling malas kalau disuruh merapikan tempat tidur. Ia puas sekali bisa memarahi adiknya bila tak merapikan tempat tidur.

Pemimpin. Telingaku berdengung ketika mendengar kata itu. Aku melirik putra putri kecilku, berdoa semoga kelak ketika kalian menjadi pemimpin, kalian benar-benar paham apa dan siapa yang kalian pimpin. Tidak tergelincir dalam jurang kesalahan yang merugikan banyak orang dan tentu saja, merugikan diri kalian sendiri.

Vega Inria / Pendidikan Bahasa Inggris / 2013

admin

UNY COMMUNITY - Komunitas Mahasiswa dan Alumni UNY - kirim artikel menarik kalian ke redaksi@unycommunity.com, syarat dan ketentuan baca  Disini 

Related Articles

Back to top button
X