Sastra

Mengemas Erotisme Dalam Dunia Fiksi

Suatu karya itu akan bernilai jika telah sampai pada tangan pembaca. Yang menghakimi suatu karya adalah pembaca. Selepas karya dari tangan penulis dan samapi pada tangan pembaca, itulah hak pembaca untuk mengapresiasi karya tersebut. Saat ini, tidak sedikit sastrawan yang telah menciptakan karya fiksi beraroma erotisme. Dari yang masih muda hingga yang sudah tua, dari sastrawan baru hingga yang sudah lalu, karya fiksi yang beraroma erotisme kini telah marak tersebar dimana-mana. Pandangan masyarakat mengenai karya-karya beraroma erotisme ini tentu bermacam-macam wujudnya. Manusia diciptakan Tuhan dengan cara berpikir yang berbeda-beda. Jika antar manusia memiliki respon yang berbeda-beda, itu merupakan hal yang wajar karena manusia satu dengan yang lainnya diciptakan tidak dalam bentuk sama persis secara keseluruhan.

Ada sebagian masyarakat yang menyambut hangat kehadiran karya fiksi berarorama erotisme, adapula yang tidak suka, dan ada juga yang netral. Semua itu merupakan bumbu-bumbu dalam kehdupan sosial. Masyarakat yang menyambut hangat kehadiran aroma erotisme dalam karya fiksi ini beranggapan bahwa sastra adalah karya seni yang merupakan ekspresi kehidupan manusia (I Nyoman Suaka, 2014; 33). Tidak masalah jika memang aroma erotisme itu di butuhkan dalam suatu karaya fiksi demi menyelesaikan suatu alur cerita. Banyak para sastrawan yang telah mengemas karya fiksinya dengan aroma erotisme, seperti Eka Kurniwan, Motinggo Busye, Fredy Siswanto, Ayu Utami, Ramdya Akmal, dan lain sebagainya.

Karya fiksi beraroma erotisme yang akan diterima oleh masyarakat adalah yang dapat menyajikannya dengan pengemasan kata yang baik dan tidak terkesan porno. Pada hakikatnya, pornografi dan erotisme itu berbeda. Tetapi perbedaan antara keduanya itu sangat tipis. Pornografi digambarkan secara lugas. Penampilan gambar atau tulisan tidak boleh menimbulkan ambiguitas sehingga tidak dibutuhkan lagi penafsiran (Matthieu Dubost, 2006: 32). Berbeda dengan erotisme yang hanya menggunakan simbol-simbol dan metafor. Erotisme menyangkal kemahakuasaan ‘semua harus kelihatan’, maka keterbatasan kemampuan gambar (Matthieu Dubost, 2006:125) justru menjadi celah keberadaan erotisme. Erotisme adalah seni waktu (Matthieu Dubost, 2006: 130). Seni itu bebas. Berkarya juga menjadi hak asasi manusia. Tetapi, nilai dari seni tersebut tetap menjadi pertimbangannya.

Baca Juga  Resensi Aroma Karsa ; (Romansa) Indra dan Mitologi Bumi Dwarapala

Semua erotisme selalu beresiko menjadi pornografi. Pada karya tertentu tidak mudah menentukan batas antara erotisme dan pornografi, selain karena subjektivitas penilai, juga disebabkan oleh ambiguitas hubungan yang dipertaruhkan (Matthieu Dubost, 2006: 124).

Aroma Erotisme diantara Konflik Sosial

Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2010 dengan judul novelnya Jatisaba dimenangkan oleh Ramayda Akmal. Seorang penulis asal Cilacap ini mengemas alur cerita Jatisaba kedalam aroma cerita erotisme di tengah hiruk pikuk konflik sosial yang terus merajalela. Penyusunan alur cerita Jatisaba ini unik dan bernilai. Ditengah konflik sosial yang terus melanda, seakan nuansa erotisme ini menjadi selingan pembaca agar tidak jenuh menyimak konflik sosial yang tak terhitung jumlahnya. Setiap langkah dan gerakan yang dilakukan oleh si Aku tokoh utama, selalu disertai konflik yang melanda. Entah konflik itu karenanya ataupun karena orang yang di sekitarnya. Terkadang konflik itu menimpanya dan terkadang orang yang ada disekitar tokoh Aku (Mae). Tokoh Mae dari awal hadir di dalam cerita ini telah membawa masalah, dan ditimpa masalah. Masalah yang menimpa Mae di awal adalah rumahnya terbakar dan ia menciptakan masalah dengan mengkhianati juragannya tetapi telah menerima gaji dari juragnnya.

Baca Juga  Puisi - Kenangan Masa Putih Abu-Abu

Pada bab Pulang, penulis menggambarkan kutukan-kutukan pada perempuan. Disini penulis ingin menyampaikan bahwa ada sebagian perempuan yang memang telah ditakdirkan memiliki beberapa sifat, seperti refleks perempuan ketika berdekatan dengan laki-laki, mempunyai mulut yang tak terkendali, dan mudah terkesiap oleh barang-barang. Itu semua ada tanpa adanya penawaran sebelum ia dilahirkan di muka bumi. Perkembangan pesat jumlah manusia di bumi, menyebabkan tempat-tempat yang seharusnya ada menjadi tergusur. Berbagai fenomena penggusuran yang saat ini terjadi di kota-kota besar, pada novel ini Ramadya Akmal menggambarkannya dengan penggusuran kuburan leluhur di suatu desa demi terpenuhinya syarat lebar jalan sehingga saat itu, timbul bau anyir dan bau busuk yang tak terkendali. Karena belum semua mayatnya menyatu dengan tanah. Ironinya, hak untuk orang yang telah mati saja di gusur, apalagi hak-hak milik yang masih hidup. Semua rata demi kepentingan oknum-oknum tertentu yang tidak bertanggung jawab. (Siti Zulaikha/Sastra Indonesia 2016)

admin

UNY COMMUNITY - Komunitas Mahasiswa dan Alumni UNY - kirim artikel menarik kalian ke redaksi@unycommunity.com, syarat dan ketentuan baca  Disini 

Related Articles

Back to top button
X